Budaya merupakan nilai-nilai luhur peninggalan leluhur yang telah bertahan
selama berabad-abad menjadi aturan-aturan, norma-norma atau adat istiadat yang
dilakukan oleh masyarakat dan generasi berikutnya secara turun-temurun. Tentu
saja begitu juga dengan Budaya Nias, bahwa budaya yang dimiliki saat ini
merupakan nilai-nilai yang diturunkan oleh nenek moyang, yang telah menjadi
falsafah, cara berpikir, tujuan dan cita-cita yang dimiliki, dipilih dan
dipelihara. Semuanya itu memang nyata dan telah terukir dalam sejarah. Yang
menjadi pertanyaannya ialah seberapa besar relevansi budaya itu terhadap
keberadaan zaman sekarang ini?
Budaya memiliki sifat yang dinamis atau tidak statis.
Artinya bahwa budaya itu tidak selamanya tetap dipertahankan sebagaimana
originalnya. Budaya bisa saja berubah, apa itu ditinggalkan, dipertahankan,
dikembangkan bahkan juga diadopsi. Kondisi ini terutama untuk budaya abstrak
dan aktifitas. Budaya yang besar ialah budaya dimana bisa bertahan hidup dan
menyesuaikan diri dengan zamannya, hingga mencapai suatu puncak peradaban
tertentu. Mungkin budaya kita sudah mencapai puncak kejayaannya dulu, lalu
bagaimana sekarang? Berikut ini akan dibahas sedikit tentang budaya kita yang
perlu ditinggalkan, dipertahankan dan bagaimana budaya sebagai filter
perubahan zaman.
Dr. Antie Solaiman, MA (seorang pemerhati Nias di
Jakarta), dalam sebuah seminar Capacity Building of Nias, menyatakan
bahwa secara keseluruhan budaya Nias itu baik adanya. Akan tetapi salah satu
yang dilihatnya kurang baik ialah sistem demokrasinya. Dalam
pertemuan-pertemuan di Nias, baik pertemuan adat atau jika ada persekutuan;
pendapat, ide atau gagasan-gagasan perempuan diabaikan. Penolakan dilakukan
dengan seketika tanpa mempertimbangkan nilai positif dari pendapat itu. Saya
juga berpikir bahwa itu terjadi di Nias di daerah kita, karena pandangan yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat kita bahwa wanita itu ialah bagaikan
barang, sehingga menyebutnya “Bőli Gana’a.” Hal itu membuat hak-hak wanita
diabaikan, wanita hanya berperan sebagai pembantu suami dan sebagai pelengkap
saja. Sebaiknya kita meninggalkan kebiasaan itu.
Selain itu, kebiasaan buruk yang sering terjadi di Nias ialah budaya menjatuhkan
orang lain (fadőni ahe). Sikap mental dan cara
berpikir seperti itu masih kental dalam kehidupan orang Nias. Ketika orang lain
mulai maju atau sedikit mengalami keberhasilan, maka pasti ada banyak orang di
sekitarnya yang tidak senang. Hal ini sering terjadi di lingkungan
pemerintahan. Ketika seseorang sukses dan karirnya mulai menanjak, ada saja
orang yang mau menjatuhkan. Dituduh yang nggak-nggak, difitnah,
dibenci dan lain sebagainya yang tujuannya untuk menjatuhkan. Dan yang lebih
tragis lagi ialah di daerah-daerah yang jauh dari kota, menjatuhkan orang itu
dengan menggunakan kekuatan-kekuatan magis (di Nias masih banyak berkembang).
Betapa damainya kehidupan di Nias jika tidak ada kebiasaan buruk ini.
Yang lainnya yang perlu kita hindari ialah menyangkut masalah penokohan.
Orang Nias kita akui jiwa kepemimpinannya itu sangat menonjol. Akan tetapi
kebanyakan orang Nias itu mau disanjung-sanjung, dipuji-puji dan kepingin
untuk menjadi penguasa. Orang Nias itu sukanya jika dipanggil sebagai tokoh,
ketua, pembina, penasehat atau yang lainnya. Kebiasaannya ini sering
menimbulkan perpecahan kelompok. Karena kurangnya kapasitas itu, sehingga untuk
memenuhi nafsu itu hanya dengan hengkang dari kelompok itu dan membuat
kelompok/organisasi lain yang bisa manampungnya. Hal ini sering kita temukan di
perkumpulan-perkumpulan orang Nias baik di Nias, luar Nias maupun dalam
kehidupan bergereja. Ada baiknya kita memahami bahwa kekuasaan/kepemimpinan itu
berasal dari Tuhan sebagai amanah bukan karna nafsu/keserakahan manusia.
Mungkin masih ada lagi yang perlu ditinggalkan di budaya kita, akan tetapi
sedikitnya yang tiga ini membuat perubahan terhadap cara berpikir kita. Karena
zaman sekarang tidak menuntut hal-hal seperti ini malah sebaiknya dibuang.
Tentunya ada nilai-nilai budaya kita yang perlu kita kembangkan dan harus
dipertahankan. Dalam kebudayaan kita begitu banyak hal-hal yang baik yang bisa
dibina dan dijalani oleh setiap masyarakat. Kadang kita lupa akan hal-hal yang
sebenarnya bisa membantu kita dalam membangun Nias di masa depan. Jangan
kebiasaan buruk lebih dominan dari pada kebiasaan-kebiasaan baik.
Kebiasaan-kebiasaan yang perlu kita bina yang selama ini tertunda yakni;
semangat Fabanuasa, semangat Falulusa dan semangat fa’ohe
tanga.
Dalam
rangka membangun Nias kembali, sangat dibutuhkan kerjasama yang baik, membangun
Nias yang sudah hancur tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja.
Pemerintah,
masyarakat, LSM, harus menjadi satu tim yang solid, bekerja sama
dalam membangun Nias. Semangat Fabanusa ini sangat besar
dampaknya jika penerapannya benar. Fabanusa ini mengharapkan adanya
kesatuan hati, merasa memiliki, merasa sebagai milik bersama dan untuk
kepentingan bersama. Jika sesuatu dilakukan dengan semangat ini maka
pembangunan di Nias dapat terwujud. Dimana semangat Fabanusa kita?
Nias saat ini masih di bawah tekanan, karena kondisi
perekonomian yang belum membaik. Dampak dari kondisi ini sangat besar bagi
sebagian besar penduduk kita di Nias. Banyak orang yang tidak bisa bertahan
atau berada di bawah standar hidup yang layak. Tanggung jawab siapakah ini
semua?
Tentunya tanggung jawab kita, semangat falulusa
ialah solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Di tengah-tengah kondisi
masyarakat yang masih labil, kita dituntut untuk bisa mengatasi semua masalah
ini secara bersama-sama dengan bergotong royong, mari kita membantu saudara
kita yang masih belum mampu memperbaiki taraf penghidupannya supaya layak.
Jadi, yang sangat diperlukan di Nias saat ini ialah bagaimana seseorang mampu
merasakan apa yang dirasakan oleh saudara yang lain.
Pepatah Nias mengatakan: Kauko ba hili Ta’uli ba
ndraso öfaolo ndra’ugö, ba ufaolo göi ndra’o. Walaupun posisi kita
saat ini berada dipuncak, kita semuanya juga mengerti keadaan orang yang sedang
melarat di bawah kita. Membantu orang-orang yang sedang melarat ini membutuhkan
semangat gotong royong, hati nurani, kasih dan tenggang rasa. Saya pinjam pernyataan
seorang pendeta di Nias melengkapi pepatah di atas, “Kauko ba hili Ta’uli
ba ndraso ö faolo ndra’ugö ba ufaolo göi ndra’o ba gahe röfa Keriso.
Dengan kasih Kristus, pasti segalanya itu akan tercapai.
Mari kita menumbuh kembangkan semagat fa’ohe tanga di Nias.
Semangat ini sering mati karena ditindas oleh kebiasaan-kebiasaan buruk kita.
Semangat fa’ohe tanga ini sebenarnya sangat besar dampaknya dalam
membangun Nias. Saling berpegang tangan dan saling menopang itulah arti fa’ohe
tanga. Dengan kita berpegang tangan dan saling menopang maka kita tidak
akan bisa digoyahkan, tidak bisa diombang-ambingkan melainkan kokoh, berdiri
tegak. Mari kita wujudkan semangat ini untuk masa depan Nias di masa yang akan
datang. Nias yang kuat, kokoh, besar dan makmur tentunya.
Lalu bagaimana kekuatan budaya kita di tengah perkembangan zaman? Apakah
budaya kita sudah mampu menjadi sebagai filter untuk menghadapi dunia luar dan
mampu menentukan apa yang perlu diperhatikan atau dihindari.
Perkembangan zaman ditandai dengan makin canggihnya ilmu pengetahuan dan
teknologi. Menyebar dengan begitu pesatnya sampai kepelosok-pelosok. Baik itu
melalui TV, radio, maupun internet. Begitu banyaknya informasi dari luar dengan
berbagai latar budaya. Apa yang terjadi jika kekuatan budaya kita tidak mampu
menjadi filter terhadap berbagai informasi itu?
Jika budaya kita tidak mampu menjadi filter terhadap berbagai informasi itu
maka tentu saja semua informasi itu ditelan mentah-mentah dan akan
menghancurkan nilai-nilai yang baik yang sudah ada. Dengan menampung informasi
tanpa filterisasi menggambarkan satu informasi yang rusak atau kacau karena
tidak akan mampu menangani segala informasi yang masuk. Akibat bebasnya
informasi ini sangat besar pengaruhnya cara berpikir kita, cara berbusana,
perilaku dan lain-lain.
Kita tidak mungkin menyangkal bahwa ada banyak keuntungan atau nilai
positif dari teknologi. Menambah wawasan kita untuk mengenal dunia secara
universal, kita beroreintasi pada teknologi serta penyampaian informasi
yang begitu cepat. Namun di balik itu begitu banyak nilai-nilai buruk yang
ditimbulkannya. Seks dan pornografi yang bebas dan privasi yang tidak terjamin
lagi.
Betapa buruknya citra budaya kita jika dampak negatif ini telah merambah di
Nias. Betapa jeleknya Nias itu di mata dunia yang mengklaim bahwa Nias adalah
pulau indah dan damai. Karena itu mari kita memanfaatkan budaya kita sebagai
filter dan Screening (melindungi system saraf manusia dari kejenuhan
informasi). Mari kita menerima informasi dari luar lewat media komunikasi
dengan memprediksi dan menyaring lebih dahulu melalui budaya kita. Mungkin
diterima, ditolak atau hanya sebatas penambah wawasan saja. Saya yakin
nilai-nilai luhur budaya kita akan tetap terjamin keadaannya dengan cara
berpikir kita yang baik dan bernuansa global.
Penulis: Fikar Gea
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta.
No comments:
Post a Comment